Wednesday, December 30, 2009

Rare New Year's Eve 'blue moon' to ring in 2010



Once in a blue moon there is one on New Year's Eve. Revelers ringing in 2010 will be treated to a so-called blue moon. According to popular definition, a blue moon is the second full moon in a month. But don't expect it to be blue — the name has nothing to do with the color of our closest celestial neighbor.
A full moon occurred on Dec. 2. It will appear again on Thursday in time for the New Year's countdown.
"If you're in Times Square, you'll see the full moon right above you. It's going to be that brilliant," said Jack Horkheimer, director emeritus of the Miami Space Transit Planetarium and host of a weekly astronomy TV show.
The New Year's Eve blue moon will be visible in the United States, Canada, Europe, South America and Africa. For partygoers in Australia and Asia, the full moon does not show up until New Year's Day, making January a blue moon month for them.
However, the Eastern Hemisphere can celebrate with a partial lunar eclipse on New Year's Eve when part of the moon enters the Earth's shadow. The eclipse will not be visible in the Americas.
A full moon occurs every 29.5 days, and most years have 12. On average, an extra full moon in a month — a blue moon — occurs every 2.5 years. The last time there was a lunar double take was in May 2007. New Year's Eve blue moons are rarer, occurring every 19 years. The last time was in 1990; the next one won't come again until 2028.
Blue moons have no astronomical significance, said Greg Laughlin, an astronomer at the University of California, Santa Cruz.
"`Blue moon' is just a name in the same sense as a `hunter's moon' or a `harvest moon,'" Laughlin said in an e-mail.
The popular definition of blue moon came about after a writer for Sky & Telescope magazine in 1946 misinterpreted the Maine Farmer's Almanac and labeled a blue moon as the second full moon in a month. In fact, the almanac defined a blue moon as the third full moon in a season with four full moons, not the usual three.
Though Sky & Telescope corrected the error decades later, the definition caught on. For purists, however, this New Year's Eve full moon doesn't even qualify as a blue moon. It's just the first full moon of the winter season.
In a tongue-in-cheek essay posted on the magazine's Web site this week, senior contributing editor Kelly Beatty wrote: "If skies are clear when I'm out celebrating, I'll take a peek at that brilliant orb as it rises over the Boston skyline to see if it's an icy shade of blue. Or maybe I'll just howl."

Tuesday, December 29, 2009

Hak Waris Anak Di Luar Nikah

Anak yang terlahir dikarenakan hasil perzinahan tidaklah menjadi ahli waris dari harta ayahnya meskipun ibunya menikah saat mengandung anak itu, berdasarkan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari dari Ibnu Lahi’ah dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita merdeka atau budak wanita maka anaknya adalah anak zina yang tidak mewarisi dan tidak diwarisi.” Abu Isa mengatakan bahwa para ulama selain Ibnu Lahi’ah juga meriwayatkan hadits ini dari ‘Amr bin Syu’aib. Para ahli ilmu mengamalkan hadits ini dengan berpendapat bahwa anak zina tidaklah mewarisi harta ayahnya.
Pemilik kitab “Tuhfah al Ahwadzi” menukil perkataan Ibnul Malak yang menyebutkan bahwa anak (zina) itu tidaklah mewarisi laki-laki yang menzinahi (ibunya, pen) dan tidak juga mewarisi suadara-saudara kerabatnya karena pewarisan adalah berdasarkan nasab sedangkan anak itu tidaklah memiliki hubungan nasab dengan laki-laki yang berzina tersebut. Begitu juga dengan laki-laki yang berzina dan saudara-saudara kerabatnya tidaklah mewarisi harta anak zina itu. (Tuhfah al Ahwadzi juz V hal 393)
Anak itu hanya mewarisi harta ibunya saja dan begitu sebaliknya ibunya mewarisi harta anak tersebut karena nasab anak tersebut disandarkan kepada ibunya bukan kepada laki-laki yang menzinahi ibunya.

Selamat dari Fitnah Dajjal

Nabi saw telah mengarahkan umatnya untuk berlindung dari fitnah al Masih ad Dajjal. Beliau telah meninggalkan umatnya diatas jalan yang lurus dan terang, malamnya bagai siangnya dan tidaklah seorang yang menyimpang darinya kecuali dia akan celaka.
Dia tidaklah meninggalkan suatu kebaikan kecuali menunjuki umatnya untuk melakukannya dan tidaklah terdapat suatu keburukan kecuali dia telah mengingatkan umatnya agar waspada terhadapnya.
Diantara yang perlu diwaspadai adalah fitnah al Masih ad Dajjal karena ia adalah fitnah terbesar yang dihadapi umat ini hingga hari kiamat. Setiap Nabi telah mengingatkan umatnya terhadap si Cacat matanya, Dajjal, khusus bagi Nabi Muhammad saw ditambah lagi pengingatan dan warning ini.
Allah swt telah menjelaskan kepadanya saw tentang berbagai sifat-sifat dajjal ini agar beliau saw mengingatkan umatnya untuk waspada terhadapnya karena Dajjal itu akan keluar pada masa umat ini dan tidak ada keraguan tentangnya karena umatnya adalah umat terakhir dan Muhammad saw adalah penutup para Nabi.
Inilah beberapa arahan Nabi saw kepada umatnya agar selamat dari fitnah besar dan kita memohon kepada Allah Yang Maha Besar agar menyelamatkan dan melindungi kita darinya :
1. Berpegang teguh dengan islam2. Mempersenjatai diri dengan keimanan.3. Mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah yang baik yang tak satu makhluk pun menyertai-Nya didalamnya. Dajjal adalah seorang manusia yang makan dan minum sedangkan Allah Maha Suci dari hal itu. Dajjal adalah yang cacat matanya sedangkan Allah tidaklah cacat pada mata-Nya dan tak seorang pun pernah melihat Tuhannya hingga meninggalnya sedangkan Dajjal bisa dilihat oleh manusia saat keluarnya baik oleh orang-orang beriman maupun orang-orang kafir.
4. Berlindung dari fitnah Dajjal khususnya didalam shalat, sebagaimana terdapat didalam berbagai hadits shahih, diantaranya dari Ibu orang-orang beriman, Aisyah, istri Nabi saw bahwa Rasulullah saw berdoa didalam shalatnya :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ "
“Wahai Allah aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah al Masih ad Dajjal dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan fitnah saat kematian, dan aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.” (HR. Bukhori)
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh berkata,”Rasulullah saw bersabda,”Apabila salah seorang dari kalian bertasyahud maka berlindunglah kepada Allah dari empat hal.” Dia berkata :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
5. Menghafalkan ayat-ayat didalam surat al Kahfi. Nabi saw telah memerintahkan untuk membaca ayat-ayat awal-awal dari surat al Kahfi untuk berlindung dari Dajjal. Didalam beberapa riwayat disebutkan “ayat-ayat akhirnya” yaitu membaca sepuluh ayat-ayat awal dari surat al Kahfi dan ayat-ayat akhirnya. Diantara hadits-haditsnya adalah yang diriwayatkan oleh Muslim dari hadits an Nawas bin Sam’an ath Thawil, didalamnya disebutkan sabdanya,”Barangsiapa yang mendapatinya (Dajjal) maka bacalah ayat-ayat awal dari surat al Kahfi.”
Diriwayatkan oleh Muslim (1342) dari Abu Darda bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang menghafal sepuluh ayat dari awal-awal surat al Kahfi maka dia dilindungi dari Dajjal.” Yaitu dari fitnahnya. Muslim berkata,”Syu’bah berkata, ayat-ayat akhir dari al Kahfi.” Sedangkan Hammam berkata,” ayat-ayat awal dari al Kahfi.”
Nawawi berkata,”Sebab dari hal itu adalah karena pada awalnya terdapat berbagai keajaiban dan tanda-tanda besar dan barangsiapa yang mentadabburinya maka dirinya tidak akan terkena fitnah Dajjal, demikian pula di ayat-ayat akhirnya yaitu dari ayat :
أَفَحَسِبَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ يَتَّخِذُوا ..
(Syarh Shahih Muslim 6 / 93)
Inilah diantara kekhasan surat al Kahfi, terdapat pula beberapa hadits yang menganjurkan untuk membacanya khususnya pada hari jum’at, diriwayatkan oleh al Hakim dari Abu Sa’id al Khudriy bahwa Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya siapa yang membaca surat al Kahfi pada hari jum’at maka dirinya akan diterangi oleh cahaya diantara dua jum’at.” (al Mustadrak 2/368) yang dishahihkan oleh al Albani (Shahih al Jami’ ash Shaghir / hadits no 6346)
Tidak disangsikan lagi bahwa didalam surat al Kahfi terdapat berbagai perkara besar, tanda-tanda yang luar biasa seperti kisah al Kahfi, kisah Musa dengan Khaidir, Kisah Dzulqarnain dan pembangunan penghalang yang besar dari Ya’juj dan Ma’juj, pengukuhan hari berbangkit, hari dikumpulkan, peniupan sangkakala, penjelasan tentang orang-orang yang merugi amalnya dan orang-orang yang menganggap bahwa mereka berada diatas petunjuk padahal mereka berada diatas kesesatan dan kebutaan.Seyogyanya setiap muslim antusias untuk membaca surat ini, menghafalkannya dan mengulang-ulangnya khususnya pada hari terbaik di saat terbit matahari yaitu hari jum’at.
6. Lari dan menjauh dari Dajjal dan berdiam di tempat yang paling afdhal yaitu Mekah dan Madinah serta tempat-tempat yang tidak dimasuki oleh Dajjal. Apabila Dajjal telah keluar maka seyogyanya seorang muslim menjauhinya dikarenakan berbagai syubhat dan berbagai hal yang luar biasa yang telah dijadikan Allah berada ditangannya sebagai fitnah bagi umat manusia sehingga seorang mendatanginya lalu mengimani dan meneguhkan hal itu didalam dirinya sehingga orang itu menjadi pengikutnya.
Kita memohon kepada Allah swt agar melindungi kita dan seluruh kaum muslimin dari fitnahnya. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (19118) Abu Daud (3762) al Hakim (4/531) dari ‘Imron bin Hushain dari Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang mendengar Dajjal maka menjauhlah darinya. Sesungguhnya seseorang akan mendatanginya dan menyangka bahwa berbagai syubhat yang dimunculkannya itu adalah benar (darinya).” – (Fatawa al Islam Sual wa Jawab juz I hal 7555)

Hukum Memindahkan Jenazah yang Sudah Dikubur

Para ulama berbeda pendapat tentang pemindahan mayat yang telah dikuburkan ke kuburan lainnya. Para ulama Maliki dan Hambali membolehkan pemindahan itu dengan persyaratan. Para ulama Maliki membolehkan pemindahan itu apabila terdapat pelecehan terhadap kehormatan si mayat di kuburan yang lama dan jasad si mayit tidak mengalami kerusakan saat dipindahkan. Para ulama Hambali membolehkan pemindahan itu apabila dipindahkan ke pemakaman orang-orang shaleh agar mendapatkan keberkahan kecuali apabila mayat yang ingin dipindahkan itu adalah seorang yang mati syahid maka disunnahkan untuk dikuburkan di tempat terbunuhnya.
Sedangkan para ulama Hanafi tidak membolehkan pemindahan mayat yang telah dikubur ke tempat lainnya secara mutlak. Adapun para ulama Syafi’i tidak membolehkannya kecuali darurat, seperti : si mayat ternyata belum di mandikan atau ditayamumkan, atau dikuburkan di tanah rampasan, didalam kuburan tersebut terdapat harta karun, tidak menghadap kiblat atau untuk dikafankan kembali dengan benar. (baca : Membawa Jenazah ke Luar Negeri)
Dengan demikian tidak diperbolehkan mengeluarkan mayat yang telah dikuburkan untuk dipindahkan ke pemakaman lainnya kecuali darurat atau adanya alasan-alasan yang dibenarkan syariat, seperti : si mayat dikuburkan di tanah hasil rampasan, korupsi, tanpa izin dari si pemiliknya, atau dibungkus dengan kain kafan hasil rampasan, tidak menghadap kiblat, belum dmandikan dan lainnya.
Menurut saya—wallahu a’lam—alasan bahwa tempat dimana kakek dan nenek anda dikuburkan selalu bising atau berisik sehingga anda ingin memindahkan mereka berdua ke tempat yang baru bukanlah meupakan alasan yang syar’i atau menjadikannya darurat untuk dipindahkan karena kebisingan masyarakat itu tidaklah mempengaruhi kehormatan jasad mereka berdua yang telah dikuburkan di situ.
Apabila keberadaan jasad mereka berdua saat ini tetap baik berada di kuburnya tanpa ada suatu ancaman yang dapat merendahkan atau melecehkannya maka tidaklah perlu dipindahkan karena pemindahannya dikhawatirkan justru dapat menyakiti jasad mereka berdua, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya retaknya tulang seorang mukmin yang telah menjadi mayat sama seperti retaknya saat dia masih hidup.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Ibnu majah dan lainnya. Hadits ini telah disahihkan oleh Asy Syeikh al Albani didalam kitab “Irwa’a al Ghalil 3/214) juga didalam riwayat lainnya,”Retaknya tulang seorang mayat seperti retaknya tulang saat dia masih hidup dalam rasa sakitnya.” (Sunan Ibnu majah 1/561)
Akan tetapi apabila selama ini mereka berdua dikuburkan di pemakaman non muslim maka pemindahannya ke pemakaman kaum muslimin adalah menjadi sebuah keharusan karena tidaklah menguburkan seorang muslim di pemakaman orang-orang kafir kecuali darurat.

Hukum Bersekutu dengan Orang Munafik

Makna Surat An Nisaa Ayat 138 - 140
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا ﴿١٣٨﴾الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعًا ﴿١٣٩﴾وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللّهِ يُكَفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُواْ مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا ﴿١٤٠﴾
Artinya : “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka Sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (QS. An Nisaa : 138 – 140)
Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna dari firman Allah swt بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih” yaitu bahwa orang-orang munafik yang memiliki sifat : beriman kemudian kafir maka hati mereka tertutup kemudian Allah mensifatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung dengan meninggalkan orang-orang beriman artinya bahwa mereka (orang-orang munafik) pada hakekatnya bersama mereka (orang-orang kafir), memberikan loyalitas dan kasih sayangnya kepada mereka lalu jika bertemu dengan mereka maka orang-orang munafik itu mengatakan,”Sesungguhnya kami bersama kalian, sesungguhnya kami hanya mengolok-olok orang-orang beriman dengan penampilan kami yang seolah-olah sejalan dengan mereka.”
Lalu Allah swt mengingkari pemberian loyalitas mereka (orang-orang munafik) kepada orang-orang kafir dengan أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ “Apakah mereka (orang-orang munafik) mencari kekuatan di sisi orang-orang kafir?” kemudian Allah swt memberitahukan bahwa izzah (kekuatan) seluruhnya adalah milik Allah saja dan tak satu pun yang menyertainya dan juga milik orang-orang yang diberikan oleh-Nya, sebagaimana firman-Nya di ayat lain :
Artinya : “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (QS. Fathir : 10)
يَقُولُونَ لَئِن رَّجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : “Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. Al Munafiqun : 8)
Maksudnya adalah memberikan dorongan untuk meminta izzah (kekuatan) itu dari sisi Allah swt, berlindung kepada-Nya dengan menyembahan-Nya serta bergabung dengan kelompok hamba-hamba-Nya yang beriman yang telah ditetapkan bagi mereka kemenangan di kehidupan dunia dan pada hari ditegakkannya kesaksian.
Senada dengan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Husein bin Muhammad telah bercerita kepada kami, Abu Bakar bin ‘Ayyasy telah bercerita kepada kami dari Humaid al Kindiy dari ‘Ubadah bin Nusaiy dari Abi Raihanah bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang menasabkan (menyandarkan dirinya) kepada sembilan nenek moyang yang kafir karena menginginkan kekuatan dan kebanggaan bersama mereka maka orang itu adalah yang kesepuluh di neraka.”
Adapun firman Allah swt pada ayat 140:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللّهِ يُكَفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلاَ تَقْعُدُواْ مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ إِنَّ اللّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا ﴿١٤٠﴾
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.”
Yaitu : apabila kalian jatuh kedalam larangan itu setelah sampainya larangan itu kepada kalian lalu kalian ridho untuk duduk-duduk bersama mereka di tempat yang didalamnya terdapat pengingkaran, memperolok-olok dan merendahkan ayat-ayat Allah lalu kalian setuju dengan mereka maka sungguh kalian adalah sekutu mereka.
Untuk itu Allah swt berfirman إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ “Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” didalam perbuatan dosa, sebagaimana disebutkan didalam hadits,”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka dia tidak akan duduk pada satu meja yang diatasnya diedarkan minuman keras.”
Firman Allah swt tentang larangan itu ada didalam surat al An’am yang tergolong ayat-ayat Makkiyah :
Artinya : “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (QS. Al An’am : 68) …
Sedangkan makna firman-Nya إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا “Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam” yaitu sebagaimana orang-orang munafik telah menyertai orang-orang kafir didalam kekufuran demikian pula Allah akan menjadikan mereka bersama-sama kekal di neraka jahanam selama-lamanya dan menggabungkan mereka semua di tempat penyiksaan dengan belenggu, rantai-rantai, minuman dari air panas yang mendidih serta air nanah. (Tafsir al Qur’an al Azhim juz II hal 435)
Adab Terhadap Orang-orang Kafir
Syeikh Abu Bakar Jabir al Jaza’iriy mengatakan bahwa setiap muslim haruslah meyakini bahwa seluruh ajaran dan agama adalah batil dan para penganutnya adalah kafir kecuali agama islam karena ia adalah agama ang benar dan kecuali para pemeluk islam karena mereka adalah orang-orang yang beriman dan berserah diri, sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Al Imran : 19)
Artinya : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al Imran : 85)
Artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah : 3)
Itu semua adalah informasi Ilahi yang benar yang memberitahu seorang muslim bahwa seluruh agama yang ada sebelum islam telah dihapuskan dan hanya Islam lah agama seluruh manusia. Allah tidaklah menerima satu agama pun selain islam dan Dia tidaklah rela dengan syariat selainnya. Dari sini seorang muslim melihat bahwa setiap orang yang tidak beragama dengan agama Allah (Islam) adalah kafir.
Untuk itu hendaklah seorang muslim memiliki adab-adab berikut dalam bermuamalah dengan mereka :
1. Tidak menyetujui kekufurannya, tidak ridho dengannya karena ridho dengan kekufuran adalah kekufuran.
2. Membencinya dengan kebencian Allah kepadanya, yaitu mencintai karena Allah dan membenci karena Allah. Selama Allah membenci kekufuran maka seorang muslim harus membenci pula kekufuran dengan kebencian Allah kepadanya.
3. Tidak memberikan wala’ (loyalitas) dan kecintaan kepadanya, berdasarkan firman-Nya :
Artinya : “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (QS. Ali Imran : 28)
Artinya : “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadalah : 22)
4. Berlaku adil terhadapnya serta memberikan kebaikan kepadanya selama dia tidak memerangi (kaum muslimin) berdasarkan firman Allah :
Artinya : “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
5. Menyayangi dengan sifat kasih sayang pada umumnya, seperti memberikannya makan ketika dia merasa lapar, memberikannya minum ketika kehausan, mengajaknya berobat ketika sakit, meneyalamatkannya dari sesuatu yang bisa membahayakannya dan menjauhinya dari apa-apa yan bisa menyakitinya, berdasarkan sabda Rasulullah saw.”Sayangilah orang-orang yang di bumi maka yang di langit akan menyayangimu.” (HR. ath Thabrani)
6. Tidak menyakiti (menzhalimi) nya didalam harta, darah atau kehormatannya jika dia bukan termasuk orang-orang yang memerangi (umat islam) berdasarkan sabdanya,”Allah swt berfirman,’Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezhaliman terhadap diri-Ku dan Aku jadikan hal itu haram diantara kalian maka janganlah kalian saling menzhalimi.” (Muslim)
7. Boleh memberikan hadiah kepadanya atau menerima hadiah darinya dan memakan makanannya jika dia termasuk ahli kitab : Yahudi atau Nasrani :
Artinya : “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu.” (QS. Al Maidah : 5)
Terdapat riwayat shahih yang menyebutkan bahwa Nabi saw diundang oleh orang Yahudi di Madinah lalu Rasul menyambut undangan itu dan memakan hidangan yang disuguhkan olehnya.
8. Tidak menikahkan laki-lakinya dengan seorang wanita mukminah..
Artinya : “(Wanita-wanita) mukminah tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka (wanita-wanita mukminah).” (QS. Al Mumtahanah : 10)
9. Menjawab bersinnya dengan mengucapkan يهديكم الله ويصلح يالكم “Semoga Allah memberikan hidayah kepadamu dan membaikan urusanmu.”. Suatu ketika orang-orang Yahudi bersin dihadapan Rasulullah saw dan mereka berharap Nabi saw mengatakan kepada mereka يرحمكم الله “Semoga Allah merahmatimu” namun Rasul mengatakan kepada mereka يهديكم الله ويصلح يالكم
10. Tidak memulai salam kepadanya dan jika mereka mengawali salam maka jawablah dengan kata-kata “wa alaikum”, berdasarkan sabdanya saw,”Apabila orang-orang ahli kitab membeikan salam kepadamu maka ucapkanlah ‘wa alaikum’ (Muttafaq Alaihi)
11. Menyempitkan jalannya berdasarkan sabdanya,”Janganlah kalian mendahulukan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasranai dan jika kalian bertemu dengan sorang dari mereka di jalan maka persempitlah.” (HR. Abu Daud)
12. Tidak menyerupainya dalam permasalahan yang tidak darurat, sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka (kaum itu).” (Muttafaq Alaihi). Sabdanya saw lagi,”Berbedalah dengan orang-orang musyrikin maka biarkanlah jenggot dan rapihkanlah kumismu.” (Muttafaq Alaihi). Sabdanya saw,”Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidaklah mencat rambut mereka maka berbedalah dengan mereka.” (HR. Bukhori), yaitu mencat jenggot dan rambut kepala dengan warna kuning atau merah karena terdapat larangan mencat dengan warna hitam, sebagaimana riwayat Muslim bahwa Nabi saw bersabda,”Catlah ini—rambut yang putih—akan tetapi jauhilah oleh kalian warna hitam. (Minhaj al Muslim hal 79 – 81)

Pintu Langit dan Yakjuj - Makjuj

Waktu-waktu yang dibukakan pintu langit didalamnya adalah :
1. Sebelum zhuhur
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka hingga tergelincir matahari dan tidaklah tertutup hingga shalat zhuhur maka aku ingin saat itu yang naik bagiku adalah suatu kebaikan.” (Shahih at Targhib, 584)
2. Saat melaksanakan shalat sunnah qobliyah zhuhur
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Empat rakaat sebelum zhuhur tanpa salam diantara rakaat-rakaatnya maka terbukalah pintu-pintu langit.” (Shahih al Jami, 885)
3. Saat berkumandang adzan
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Apabila seorang muadzin mengumandangkan adzan maka terbukalah pintu-pintu langit dan dikabulkanlah doa.” (shahih al Jami’ 803)
4. Tatkala menanti dua shalat
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Bergembiralah kalian, Ini adalah Tuhan kalian sungguh Dia swt telah membuka satu pintu dari pintu-pintu langit dan membanggakan kalian dihadapan para malaikat dengan mengatakan,’Kalian lihatlah hamba-hamba-Ku, mereka telah menyelesaikan suatu kewajibannya dan menanti kewajiban yang lainnya.” (ash Shaihah 661, sunan Ibnu Majah 850)
5. Di tengah malam
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Pintu-pintu langit dibuka pada saat tengah malam lalu ada suara yang memanggil,’Apakah ada orang yang berdoa? Lalu orang itu pun dikabulkan. Apakah ada orang yang meminta? Lalu orang itu pun diberikan. Apakah ada orang yang dalam kesulitan? Lalu orang itu pun dilapangkan.” (Shahih al Jami’ 376)
6. Saat berdoa dengan mengucapkan Allahu Akbar Kabiron Walhamdulillah Katsiron Wa Subhanallahu Bukarotan Wa Ashilan.
Ketika kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw, lalu ada seseorang yang mengatakan,”Allahu Akbar Kabiron Wal hamdulillah Katsiron Wa Subhanallahu Bukrotan wa Ashilan.”
Lalu Rasulullah saw bersabda,”Siapakah yang mengatakan kalimat ini dan itu.’ Lalu orang itu berkata,’Saya wahai Rasulullah saw.’ Beliau bersabda,”Aku tertegun dengannya dan pintu-pintu langit pun terbuka.’ Ibnu Umar berkata,’Aku pun tidak pernah meninggalkan kalimat-kalimat itu sejak mendengar sabda Rasulullah itu.” (Shahih Muslim)— http://www.5reeef.com
Saat pintu-pintu langit terbuka ini merupakan salah satu dari waktu mulia yang dianjurkan untuk berdoa didalamnya sebagaimana perkataan Abu Hurairoh,”Sesungguhnya pintu-pintu langit terbuka saat barisan (kaum muslimin) yang berjihad di jalan Allah melakukan penyerangan, ketika turun hujan lebat, ketika iqomat untuk melaksanakan shalat wajib maka raihlah keberuntungan didalamnya dengan berdoa.” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 7163)
Adapun tentang dimana kedudukan lapisan langit yang sebenarnya maka hanya Allah lah yang mengetahuinya namun jika kita melihat arti dari langit atau sama’ didalam bahasa arabnya, menurut az Zajjaj bahwa makna sama (langit) secara bahasa adalah segala sesuatu yang tinggi dan berada diatas dan setiap atap adalah langit. Dari sini bisa dikatakan bahwa awan adalah langit karena ia berada tinggi diatas. langit adalah segala sesuatu yang ada diatasmu dan menaungimu. (Lisan al Arab juz XIV hal 397)
Yang jelas bahwa Allah swt telah memberitahukan bahwa lapisan langit ini sebagaimana lapisan bumi berjumlah tujuh, didalam firman-Nya :
Artinya : “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS. Ath Thalaq : 12)Dan jarak antara satu langit dengan langit yang lainnya mencapai lima ratus tahun, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Hurairoh,”Sesungguhnya antara satu langit dengan langit yang lainnya berjarak lima ratus tahun, dan sesungguhnya bangunan setiap langit sama seperti itu. Dan antara satu bumi dengan bumi yang lainnya berjarak lima ratus tahun.”
Diriwayatkan pula oleh Ishaq bin Rohuwaih dan al Bazzar dari hadits Abu Dzar serupa dengan itu,”Antara setiap langit dengan langit yang lainnya berjarak tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua tahun.”
Kedua hadits tersebut dapat digabungkan yang berarti bahwa perbedaan jarak diantara keduanya adalah tergantung dari cepat atau lambat perjalanannya. (Fathul Bari juz VI hal 317)
Sedangkan tentang dimana dikurungnya Ya’juj dan Ma’juj maka anda bisa merujuk artikel sebelumnya dengan judul ”Misteri Ya’juj dan Ma’juj

Hukum Bersalaman Setelah Shalat

Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa pada dasarnya bersalaman adalah mubah (boleh) bahkan ada yang mengatakan sunnah karena hal itu dapat memunculkan kecintaan dan kasih sayang serta menguatkan ikatan persaudaraan.
Keutamaan hal itu telah diriwayatkan oleh berbagai hadits yang sebagiannya dengan jalan yang hasan, diantaranya dari Qatadah,”Aku berkata kepada Anas bin Malik,’Apakah bersalaman dilakukan oleh para sahabat NAbi saw,” Anas menjawab,”Ya.” (HR. Bukhori dan Tirmidzi)
Dari Hudzaifah bin al Yaman dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin lainnya lalu dia mengucapkan salam kepadanya serta menjabat tangannya maka akan luruhlah kesalahan-kesalahan keduanya seperti rontoknya dedaunan dari pepohon.” (HR. ath Thabrani didalam “al Ausath”. Al Mundziriy mengatakan didalam kitabnya “at Targhib wa at Tarhib” bahwa aku tidak mengetahui jika diantara para perawinya terdapat seorang pun yang cacat.”
Dari Salman al Farisiy dari Nabi saw bersabda,”Sesungguhnya seorang muslim apabila bertemu dengan saudaranya lalu menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan luruh sebagaimana rontoknya dedaunan dari pohon kering pada hari bertiupnya angin kencang dan akan diampuni dosa keduanya walaupun dosa keduanya seperti buih di lautan.” (HR. ath Thabrani dengan sanad hasan)Adapun bersalaman setelah selesai melaksanakan shalat maka tidaklah pernah ada pada masa Nabi saw maupun pada masa Khulafaur Rasyidin, sedangkan hadits-hadits menyebutkan bersalaman itu pada saat seseorang bertemu dengan saudaranya.
Oleh karena itu Ibn Taimiyah mengatakan bahwa hal itu (bersalaman setelah shalat) adalah makruh akan tetapi al ‘Iz bin Abdissalam mengatakan bahwa ia adalah mubah (boleh) dikarenakan tak ada satu pun dalil yang melarangnya. Namun Nawawi mengatakan bahwa pada asalnya bersalaman adalah sunnah dan memelihara bersalaman itu pada beberapa keadaan lainnya tidaklah mengeluarkannya dari sunnah namun didalam kitab “Ghiza al Albab” milik as Safariniy (1/283) disebutkan bahwa sebagian mereka telah mengharamkannya.
Sementara Syeikh ‘Athiyah Saqar berpendapat bahwa perbedaan pendapat itu bermuara kepada definisi tentang bid’ah… dan selama permasalahan itu masih diperselisihkan maka tidak seyogyanya kita berfanatik dengan satu pendapat. ( Fatawa al Azhar juz IX hal 50)
Sementara itu Syeikh Ibn Baaz mengatakan bahwa dianjurkan untuk bersalaman saat bertemu di masjid atau di shaff dan apabila tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat maka mereka bisa bersalaman setelah melaksanakan shalat sebagai bentuk pengimplementasian sunnah yang mulia serta untuk meneguhkan kasih sayang dan menghilangkan permusuhan.
Akan tetapi apabila tidak bersalaman sebelum shalat fardhu maka disyariatkan baginya untuk bersalaman setelahnya atau setelah mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan.
Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang bersegera bersalaman setelah melaksanakan shalat fardhu, setelah mengucapkan salam kedua maka aku tidaklah mengetahui dasarnya dan yang jelas adalah bahwa hal itu adalah makruh dikarenakan tidak adanya dalil tentangnya karena yang disyariatkan bagi seorang yang shalat dalam keadaan seperti itu adalah bersegera mengucapkan dzikir-dzikir yang disyariatkan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw setelah melaksanakan shalat fardhunya.
Adapun shalat nafilah maka disyariatkan untuk bersalaman setelah salam apabila dia tidak bersalaman sebelum melaksanakan shalat itu dan jika ia telah bersalaman sebelumnya maka hal itu sudah cukup baginya. (Majmu’ Fatawa Ibn Baaz juz XI hal 267)
Bid’ah dan Macam-Macamnya
Bid’ah menurut terminologinya berasal dari kata bada’asy Syai, yubdi’uhu, bid’an dan ibtada’ahu berarti mengawalinya. Dan bida’ adalah sesuatu yang terjadi pertama… sedangkan bid’ah berarti baru yaitu sesuatu yang baru didalam agama setelah hal itu sempurna.
Adapun menurut etimologinya maka terdapat banyak definisi tentangnya dikarenakan perbedaan sudut pandang para ulama didalam pengertian dan kandungannya.
Diantara mereka ada yang memperluas kandungannya hingga mencakup segala sesuatu yang baru. Diantara mereka ada yang mempersempit kandungannya dan menyusutkannya serta meletakkan berbagai hukum dibawahnya.
Secara ringkas terdapat dua pandangan :
1. Para ulama ada yang mengatakan bahwa bid’ah adalah segala seuatu yang tidak terdapat didalam al Qur’an dan Sunnah, baik didalam permasalahan ibadah atau pun adat (kebiasaan) baik yang tercela maupun tidak tercela, diantara yang mengatakan ini adalah Imam Syafi’i, al Iz bin Abdissalam, an Nawawi dan Abu Syamah. Dari madzhab Maliki adalah al Qarafi dan az Zarqoniy. Dari madzhab Hanafi adalah Ibn Abidin. Dari madzhab Hambali adalah Ibn al Jauziy dan dari madzhab azh Zhahiriy adalah Ibn Hazm.
Pandangan ini tercakup didalam definisi yang diberikan al Iz bin Abdissalam tentang bid’ah yaitu suatu perbuatan yang tidak ada pada masa Nabi saw. Bida’ah ini terbagi menjadi bid’ah yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah.
Bid’ah yang wajib seperti ilmu nahwu untuk memahami firman Allah dan Rasul-Nya.. bid’ah yang haram diantaranya adalah madzhab al Qadariyah, al Jabriyah, al Murjiah dan al Khawarij. Bid’ah yang mandub seperti membuat sekolah-sekolah, membangun jembatan juga termasuk shalat tarawih berjamaah di masjid dengan satu imam. Bid’ah makruh seperti kaligrafi masjid, hiasan-hiasan pada mushaf. Bida’ah yang mubah seperti memperluas suatu kenikmatan didalam makan, minum maupun pakaian.
2. Ada sekelompok ulama yang mencerca perbuatan bid’ah serta menegaskan bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang sesat, baik didalam adat (kebiasaan) maupun ibadah. Diantara yang mengatakan ini adalah Imam Malik, asy Syatibiy dan ath Thurtusyi. Dari madzhab Hanafi adalah Imam asy Syamniyyi dan al ‘Ainiy. Dari madzhab Syafi’i adalah Baihaqi, Ibn Hajar al Asqalaniy, Ibn hajar al Haitsamiy. Dari madzhab Hambali adalah Ib Rajab dan Ibn Taimiyah. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 2814 – 2816)